Laboratorium Sejarah, Kajian Teknologi dan Desain Fakultas Arsitektur dan Desain (FAD) dan Program Studi Magister Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) kembali menyelenggarakan bedah karya ilmiah dalam wacana populer edisi #3 pada hari Sabtu, 29 September 2018. Bedah karya ilmiah dalam wacana populer ini diselenggarakan karena kegelisahan akan publikasi teks-teks lokal arsitektur yang sangat minim, sehingga kegiatan ini menjadi respon atas kegelisahan itu.

Untuk kali ketiga, kegiatan bedah karya ilmiah dalam wacana populer ini membahas buah pemikiran (disertasi) dari Dr. Kahar Sunoko, S.T., M.T.  – dosen arsitektur Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) yang berjudul Penggunaan Kembali (Reuse) Bahan Bangunan Reruntuhan dalam Arsitektur Tanpa Arsitek pada Pasca Gempa di Bantul. Dimana kasus ini menjadi sangat relevan pada saat ini karena di bagian lain Indonesia, yaitu di Lombok dan Palu juga sedang mengalami kondisi yang serupa (pasca gempa). Dengan demikian, diharapkan hasil diskusi ini juga dapat menjadi inspirasi dalam menghadapi kondisi pasca gempa yang masih akan terjadi di Indonesia, ungkap Linda Octavia, S.T., M.T.

Diskusi ini menghadirkan dua orang pembahas, yaitu Yulianto P. Prihatmaji, Dr., IPM., IAI. dan Ir. Priyo Pratikno, M.T. dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan moderator diskusi adalah Prasetya Cahyana, S.T., M.Sc. dari Universitas Teknologi Yogyakarta. Prasetya mengawali dengan memperkenalkan profil  narasumber yang dan menyebutkan bahwa betapa melimpahnya istilah lokal dalam disertasi ini. Istilah yang sebetulnya mengandung atau momot pengetahuan arsitektur juga, hanya saja dari konteks yang berbeda.

Dr. Kahar Sunoko, S.T., M.T.  memaparkan tentang bagaimana bencana membuat masyarakat Bantul juga belajar untuk bangkit dan membuat arsitektur yang “kontekstual” dengan kondisi yang terjadi (dalam hal ini pasca gempa). Yang dalam istilah Kahar Sunoko “sakisane lan sakdadine” (sebisanya dan sejadinya). Justru dari pengalaman “sakisane lan sakdadine” itulah memunculkan pengetahuan baru bahwa meskipun masyarakat tidak mendapat ilmu arsitektur secara formal, tetapi mereka sebetulnya memiliki ilmu juga yang didapat dari pengalaman, sehingga hasil karyanya bisa disebut sebagai “arsitektur tanpa arsitek”.

Betapa melimpahnya istilah lokal dalam disertasi ini, membuat para peserta merasa excited ketika mendengarkan langsung dari pak Kahar. Di Indonesia, banyak fenomena gempa, bahkan dari riset yang ada terdahulu juga demikian. Gempa yang dahsyat mengakibatkan reruntuhan, dan dari reruntuhan itu ada proses rekonstruksi. Meskipun sama-sama rekonstruksi, rekonstruksi yang dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan mengandalkan “logika” mereka sendiri menjadi sebuah nilai lebih dalam dunia arsitektur kita di masa kini. Bahwa masyarakat sebenarnya juga memiliki “kemampuan” untuk berarsitektur dengan cara mereka sendiri.

Dr. Yulianto P. Prihatmaji dalam pembahasannya menyatakan bahwa arsitektur tradisional dan vernakular kadang-kadang dicibir orang karena dibuat tanpa logika. Tetapi justru dari kondisi dianggap sebagai “tanpa pengetahuan” itulah justru menyimpan pengetahuan yang “tak terduga”. Seperti misalnya struktur Joglo itu sebenarnya struktur tarik, yang kemudian oleh Maclaine Pont digunakan sebagai dasar untuk merancang Gereja Puhsarang di Kediri.

Sedangkan Ir. Priyo Pratikno sebagai pembahas berikutnya menyatakan bahwa gempa bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik atau ragawi saja, tetapi kerusakan semesta. Maka, yang perlu diperbaiki juga bukan hanya fisik, juga seluruh semesta kehidupannya. Dalam konteks gempa di Bantul, dia ikut merasakan bagaimana rasanya ketika rumahnya runtuh, lalu para laki-laki duduk-duduk di luar, ngobrol, untuk mencari solusi untuk mengatasi kondisi yang terjadi.

Prof. Josef Prijotomo dalam closing statementnya menegaskan bahwa sudah saatnya dalam kondisi apapun, kita tetap berinduk pada arsitektur Nusantara, bukan Eropa. Arsitektur Nusantara juga punya contoh yang layak dijadikan standar dalam menghadapi gempa, misalnya Wae Rebo, sebagai hi-rise building yang mampu menahan goncangan gempa. Dari situ kita bisa belajar bahwa arsitektur Nusantara mampu untuk sejajar dengan arsitektur Barat yang Vitruvian. (linda)

Pin It on Pinterest

Share This