Kelompok Studi Mahasiswa Pancasila dan Kebangsaan (KSMPK) Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta menyelenggarakan webinar dengan tema “Kedaulatan Pangan” pada hari Sabtu, 14 Mei 2022. Webinar diadakan secara online melalui platform zoom meeting dan terbuka untuk umum, tidak hanya ditujukan bagi sivitas akademika UKDW Yogyakarta.
Tema “Kedaulatan Pangan” dipilih karena KSMPK UKDW melihat isu pangan yang berdaulat belum terwujud dengan baik di Indonesia. Terlebih di masa pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat untuk beraktivitas lebih banyak di dalam rumah. Hal ini tentu mengakibatkan penurunan produktivitas di berbagai bidang. Dimana bidang pangan juga tidak luput terkena imbasnya sehingga dapat berpotensi mengancam kedaulatan pangan nasional.
Pangan merupakan salah satu kebutuhan primer bagi manusia yang apabila tidak tercukupi maka akan menimbulkan dampak yang besar terhadap keberlangsungan hidup. Adapun landasan perwujudan kedaulatan pangan di Indonesia tertuang dalam UU No 18. Tahun 2012. Dan sejak tahun 2014, Presiden Joko Widodo melalui semangat Nawacita menetapkan kedaulatan pangan sebagai bagian dari kerangka pembangunan Indonesia.
Narasumber yang diundang untuk mengisi webinar ini adalah Dr. Ir. Priyanto Triwitono. M.P. , akademisi dari Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) serta Dicky Senda selaku Co-Founder Lakoat Kujawas dan praktisi penggerak komunitas masyarakat adat Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang berkecimpung langsung didalam meningkatkan kedaulatan pangan.
Dalam sambutannya, Althien J. Pesurnay, S.T, M.Phil, Dosen Pendidikan Pancasila sekaligus Pembina KSMPK UKDW menyebutkan bahwa lewat kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat belajar akan nilai-nilai Pancasila, yang digunakan sebagai landasan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Khususnya dalam hal kebutuhan pangan, dimana eksistensi pangan menjadi problem ketika masyarakat agrikultur menjadi masyarakat industri yang menjadikan pangan sekedar komoditi, padahal pangan adalah kebutuhan yang dapat bernilai ekonomis tinggi.
Sementara itu, Dr. Ir. Priyanto Triwitono. M.P. dalam pemaparannya menyebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan utama yang menjadi bagian dari hak asasi manusia. “Perlu diupayakan bentuk swasembada pangan sebagai upaya mencapai kebutuhan pangan. Jika tercapai maka akan tercipta kemandirian pangan dan berujung pada terwujudnya ketahanan pangan. Jika hal ini tidak diupayakan, maka akan berakibat pada kerawanan pangan dan sosial,” terangnya.
Lebih lanjut, Priyatno menyampaikan Indonesia sebagai negara agraria, dalam upaya mewujudkan swasembada pangan justru menghadapi tantangan seperti konversi lahan lahan pertanian untuk lahan industri atau pemukiman, regenerasi pelaku pertanian yang cukup memprihatinkan, bidang pertanian yang dirasa kurang menarik bagi generasi muda, serta penerapan teknologi di bidang pertanian yang rendah. “Diperlukan kerja sama serta dukungan dari semua pihak untuk mempromosikan petani sebagai profesi yang perlu dihormati. Selain itu, perlu adanya edukasi pada masyarakat untuk meningkatkan keragaman pangan lokal, diversifikasi olahan pangan lewat pelatihan oleh lembaga perguruan tinggi,” imbuhnya.
Sedangkan Dicky Senda memberi pemahaman perihal ‘berdaulat atas piring makan’ dari perspektif budaya masyarakat adat dalam memanfaatkan potensi ketahanan pangan lokal. “Berbicara soal pangan, berarti juga berbicara soal bahasa, kehilangan identitas ketahanan pangan lokal juga berarti kehilangan bahasa sendiri. Dalam konteks perspektif budaya Molo, kita dapat menjumpai Uem Bubu sebagai ‘kulkas alam’ yang merupakan teknologi pangan purba masyarakat Mollo dalam menjawab anomali cuaca timor yang kering. Sei, Lu’at, dan Bose merupakan contoh produk teknologi pangan adat dengan melakukan fermentasi dan slow cooking dengan asap. Masakan ini merupakan bentuk jawaban ketahanan pangan di tengah keadaan iklim Pulau Timor,” paparnya.
Hal lain yang bisa menjadi persoalan kompleks dan berlapis dalam pemanfaatan maupun daya dukung ketahanan pangan lokal masyarakat adat adalah ketika ruang-ruang kebudayaan/ruang-ruang hidup masyarakat adat seperti hutan, tanah, sumber air menghilang akibat alih fungsi lahan. “Seperti yang dihadapi saat ini yaitu terputusnya relasi orang muda dengan alam dan pangan, stunting, malnutrisi menjadi masalah utama di Timor. Komunitas Lakoat Kujawas hadir sebagai komunitas masyarakat yang berkontribusi melihat isu pangan, seni, budaya dengan memberi ruang-ruang kebutuhan seni budaya, terutama ruang yang memungkinkan aktivitas pertanian, preservasi pangan menurut pendidikan kontekstual seperti pendirian Food Lab, Ume Fatumfaun (ruang pengarsipan benih dan dokumentasi pangan lokal), Mnahat Fe’u (ekowisata dan gastronomi), dan Skoll Tamolok yaitu tour sekolah pengenalan budaya,” pungkasnya.
Di akhir acara, para peserta diberi kesempatan untuk berdiskusi mengenai kedaulatan pangan seperti merespons dengan kritis mengenai lemahnya daya dukung pemerintah lewat sekolah pertanian, ketergantungan pangan produk impor, serta optimisme dialog-dialog semangat kesadaran pangan lokal dan pertanian yang perlu dikembangkan di tengah kalangan milenial dengan cara-cara kreatif. Harapan ke depan, dialog-dialog kesadaran pangan dapat dikembangkan tidak hanya di ruang webinar ini saja tetapi melebar ke berbagai diskusi ruang-ruang publik. (KSMPK/Castio)