Citra Yogyakarta tidak lepas dari peran serta pihak akademisi. Pemikiran para akademisi memberikan kontribusi terhadap konsep pengembangan kawasan di Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya adalah Prodi Magister Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. Magister Arsitektur UKDW Yogyakarta mewarnai kegiatan-kegiatan penelitian dan pengabdian tentang perencanaan kota berbasis kebencanaan dan keterkaitannya dengan pemberdayaan masyarakat marjinal kampung kota melalui pengembangan atau peremajaan (upgrading) permukiman, wisata minat khusus (kampung wisata), dan tematik kampung-kampung dengan ciri khas keIndonesiaan. Kampung-kampung yang sudah dikembangkan antara lain kampung di Karangwaru, Giwangan (Bendung Lepen), Ledok Timoho, Kampung Wisata Sorosutan, Gowongan, Code, Keparakan, Prawirodirjan, dan lain-lain. Pada masa pandemi seperti sekarang ini, tidak menyurutkan semangat dari Prodi Magister UKDW Yogyakarta untuk memberikan pemikirannya terhadap pengembangan wilayah di Indonesia. Magister Arsitektur UKDW Yogyakarta telah menyelenggarakan beberapa webinar series yang mengangkat tema-tema perkotaan antara lain Belajar dari kampung (ketangguhan warga menghadapi bencana Covid-19), Desain tepian air kota kita, Implementasi strategi pembangunan pasca bencana, dan beberapa webinar series dengan tema kebencanaan.
Dr. Ing Paulus Bawole, MIP selaku Ketua Program Studi Magister Arsitektur UKDW Yogyakarta mengatakan bahwa penataan perancangan arsitektur dan wilayah perkotaan di Indonesia sudah harga mati harus memikirkan tentang kebencanaan. Sehingga kebencanaan menjadi arus utama untuk mengembangan perencanaan dan perancangan kota, permukiman, dan building / arsitektur. Karena kondisi seperti itu sehingga fokus pembelajaran di Prodi Magister Arsitektur UKDW Yogyakarta berbasis pada kebencanaan dalam konteks permukiman dan perkotaan. Selain mengarusutamakan pada kebencanaan, perencanaan dan perancangan kota pemukiman dan arsitektur juga mengarusutamakan tentang Gender Equity dan Social Inclusive (GESI) karena kelompok masyarakat rentan yang termasuk di dalam GESI sampai saat ini belum ada yang memikirkan sampai secara detail perencanaan dan perancangannya. Implementasi pemikiran untuk kelompok rentan ini masih terlihat sebatas formalitas tanpa diikuti penyadaran pada masyarakat umum tentang penyamaan pengguna secara universal pada ruang-ruang publik perkotaan dan permukiman. Lebih lanjut dikatakan oleh Paulus Bawole bahwa citra Yogyakarta merujuk pada keistimewaan. “Bagaimana kita mempertahankan heritage salah satunya Malioboro, yang lain ada Kotagede, Imogiri, dan jalur pansela. Selain itu kita tidak boleh lepas dari nostalgia-nostalgia dengan heritage, namun tetap futuristik ke depan, terjemahannya dengan pembuatan masterplan kawasan yang basisnya tetap pada kebencanaan. Kontribusi akademisi (dosen dan mahasiswa) melakukan riset dan kajian melalui studi kasus-kasus, sehingga ketika mahasiswa selesai kuliah mempunyai image yang baik tentang Yogyakarta”, jelasnya.
Kawasan Malioboro sebagai identitas Yogyakarta juga menjadi perhatiaan dari semua pihak stakeholders yang terkait. Pada hari Senin 25 Oktober 2021 yang lalu, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menyelenggarakan Forum Group Discussion (FGD) dengan tema “Penguatan Citra Malioboro Kota Yogyakarta berbasis Nilai-Nilai Sejarah dan Budaya”. Sebagai salah satu narasumber dalam FGD tersebut, Paulus Bawole menyampaikan bahwa ada banyak pemangku kepentingan di koridor ruang Malioboro yaitu pemerintah, Pengageng Keraton, wisatawan, pemilik toko, PKL, seniman, pengunjung difabel, dan LSM atau pendamping. Kolaborasi menjadi kata kunci yang paling penting dalam mengembangkan citra kawasan Malioboro. Kekuatan Branding Malioboro yaitu sebagai Central Business District, Pedestrian Zone, Heritage Area, dan Traditional Market Place. Membangun citra Yogyakarta seperti bersepeda, kita harus tetap mengayuh untuk mencapai tujuan namun dengan memperhitungkan kemampuan dan bekal yang kita punyai. (FAD/Win)