Mengangkat tema “Decolonizing Religion”, Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta bersama Netherlands-Indonesia Consortium for Muslim-Christian Relations (NICMCR) mengadakan “The 8th Interfaith Dialogue: Decolonizing Religion(s)” di Auditorium UKDW Yogyakarta pada hari kamis, 22 Juni 2023. Kegiatan yang didukung oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), Kedutaan Besar Indonesia di Belanda, dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta ini dihadiri oleh anggota NICMCR, pimpinan gereja, mahasiswa dan dosen UKDW, serta mahasiswa dan dosen beberapa universitas lain.

Konferensi dialog antaragama ke-8 ini menjadi acara yang transformatif dan informatif. Peserta diajak untuk menantang interpretasi agama Barat yang berlaku dan menghidupkan kembali tradisi spiritual pribumi. Sepanjang konferensi narasumber dan peserta terlibat dalam diskusi mendalam tentang keadilan, kesetaraan, dan cara untuk menciptakan dunia yang lebih adil.

Sebagai pembuka kegiatan, dalam sambutannya, Dr. Teuku Faizasyah, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyampaikan dukungan Kemlu RI untuk kegiatan antaragama. “Indonesia tetap berkomitmen untuk mengedepankan nilai-nilai toleransi dalam lingkup hubungan antaragama dan antarumat beragama serta untuk mendorong dialog dan kerjasama antaragama. Kerja sama yang telah terjalin baik, khususnya dalam bidang dialog antaragama ini diharapkan dapat semakin berkembang dan memberi pemahaman yang semakin baik tentang interaksi antar umat beragama dan juga tentang keberagaman,” ujar Dr. Teuku.

Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Teuku, pertunjukan tari “Pelangi dari Bukit Menoreh” oleh Sanggar Lintas Iman Wiraga Laras dan Sanggar Mawar Saron Gereja Kristen Jawa (GKJ) Kalipenden, Gunungkidul, Yogyakarta menjadi simbol kuat dari inspirasi konferensi yang diambil dari keindahan keberagaman. Tarian tersebut menyiratkan akan pentingnya merangkul budaya dan agama yang berbeda, mempromosikan inklusivitas, dan memelihara cinta kasih.

Selaku pembicara utama, Dr. Zainal Abidin Bagir, Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) mengajak peserta untuk memahami lebih jauh kaitan dekolonisasi dengan dialog atau kajian antar agama serta isu-isu kritis di dalamnya. Selaras dengan Dr. Zainal, Prof. Ruard Ganzevoort, Dr. Samsul Maarif, Dr. Dewi Candraningrum, Josien Folbert, Dr. Haryani Saptaningtyas, dan Prof. Frans Wijsen selaku pembicara pada kegiatan ini mengajak peserta untuk bersama-sama mengupas hal-hal terkait dekolonisasi agama, pendidikan teologi, isu lingkungan dan isu gender. Kontribusi penuh wawasan serta keahlian para pembicara menghasilkan dialog yang komprehensif dan menggugah pemikiran serta menginspirasi peserta untuk secara kritis merenungkan masalah yang ada dan bergerak menuju perubahan positif.

Konferensi ini menekankan pentingnya mengakui warisan budaya Barat kolonial sambil menolak untuk didefinisikan oleh asumsi kolonial yang menempatkan pihak terjajah dalam posisi inferior. Dekolonisasi agama membutuhkan pembalikan asumsi kolonial dan membangun identitas kontekstual yang mempromosikan kesetaraan dan kepedulian untuk semua, melampaui batas ras, jenis kelamin, status sosial, dan agama.

Kegiatan yang akan kembali diadakan tahun depan ini melahirkan komitmen baru untuk merangkul keberagaman, mempromosikan keadilan, dan memelihara cinta kasih untuk mendorong perubahan positif dalam komunitas menuju dunia baru di mana hak setiap individu dihormati dan kesetaraan antar agama berlaku.

Sebagai penutup kegiatan, Pdt. Prof. Dr. Robert Setio selaku Dekan Fakultas Teologi UKDW tidak lupa menekankan pentingnya melanjutkan perjalanan dekolonisasi ini dengan berpedoman pada ilmu dan wawasan yang dimiliki. “Melalui kegiatan ini, peserta diajak untuk merefleksikan kompleksitas dekolonisasi, membongkar warisan dinamika kekuasaan yang menindas dan agama kolonial. Kami juga merangkul praktik keramahtamahan, menggantikan tindakan penaklukan dan dominasi dengan tindakan pemahaman, penghormatan, inklusivitas, dan keterkaitan. Bersama-sama, kita dapat menciptakan dunia yang lebih adil, inklusif, dan penuh kasih, melampaui batas yang memisahkan kita dan merayakan kekayaan tradisi spiritual kita yang beragam,” ujar Pdt. Prof. Robert. [F.Teo/ACT]

Pin It on Pinterest

Share This